Populisme, Media, dan Demokrasi yang Menjadi Tontonan

Bayangkan seorang pemimpin yang berdiri di tengah lapangan luas. Ribuan orang berdesakan meneriakkan namanya. Mengangkat poster dengan wajahnya yang tersenyum. Ia tidak bicara data ekonomi, tak juga bicara perihal peta strategi pembangunan. Ia hanya membawa satu hal, kata-kata yang membuat orang merasa didengar. Janji yang solah sederhana tetapi memikat. Saat itu rakyat merasa inilah orang kita. Tapi benarkah ia benar-benar orang kita atau hanya aktor yang pandai memainkan panggung mengubah gimik menjadi kebijakan sekedar agar tetap dicintai? Pertanyaan itu membawa kita pada wajah populisme di berbagai belahan dunia. Dari Trump di Amerika, Jokowi di Indonesia, hingga para politisi di Amerika Latin, Asia, dan Eropa. Populisme selalu menjelma sebagai strategi sesaat dengan gaya kepemimpinan Citra yang terus membentuk arah politik modern kita. Dan dari situ pertanyaannya ketika gimik sudah jadi kebijakan, apa yang sebenarnya tersisa dari kepemimpinan?

Sumber dari Kamar Film


Populisme, Media, dan Demokrasi yang Menjadi Tontonan


Populisme bukanlah fenomena baru. Sejak awal abad ke-20, para pemimpin politik di seluruh dunia memahami bahwa keberhasilan mereka bukan hanya ditentukan oleh isi kebijakan, tetapi juga oleh kemampuan membangun kedekatan dengan rakyat. Yang berubah hanyalah medium komunikasi yang digunakan—dari radio, televisi, hingga media sosial—dan setiap medium membawa konsekuensi politiknya sendiri.


Dari Radio ke Televisi: Intimasi dan Visualisasi


Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt dikenal sebagai pelopor komunikasi populis modern. Lewat siaran radio “Fireside Chats” pada 1930-an, Roosevelt mampu menghadirkan dirinya seolah-olah sedang berbicara langsung di ruang keluarga rakyat Amerika. Radio menjadi alat intimasi, tanpa perlu gestur visual.

Dua dekade kemudian, televisi mengubah segalanya. Debat calon presiden AS pada 1960 antara John F. Kennedy dan Richard Nixon menjadi momen penting. Nixon yang pucat, berkeringat, dan kurang menarik di layar televisi kalah pamor dibanding Kennedy yang tampil segar dan penuh kharisma. Padahal, bagi pendengar radio, Nixon dianggap lebih unggul secara substansi. Sejak itu, politik menjadi bukan hanya soal isi, tapi juga soal visualisasi.

Politik sebagai Tontonan


Lompatan berikutnya muncul di berbagai belahan dunia. Juan dan Evita Perón di Argentina pada 1940-an memanfaatkan kamera untuk menampilkan citra pemimpin yang akrab dengan rakyat miskin. Silvio Berlusconi, miliarder media Italia, membangun karier politiknya dengan menguasai televisi dan menciptakan “Italia sebagai reality show”.


Di Venezuela, Hugo Chávez bahkan punya acara TV sendiri, Aló Presidente, yang ditayangkan berjam-jam untuk menunjukkan dirinya “hadir” bersama rakyat. Semua ini menegaskan bahwa politik adalah panggung, dan pemimpin populis adalah aktor utamanya.


Era Media Sosial: Dari Trump hingga Jokowi


Memasuki abad ke-21, media sosial membuka ruang baru. Donald Trump mengubah Twitter menjadi alat politik utama. Dengan 140 karakter, ia bisa menyerang lawan, membentuk opini, bahkan mengguncang pasar saham. Trump tidak butuh media arus utama—ia bisa berbicara langsung ke jutaan pendukungnya.


Di Asia, Rodrigo Duterte di Filipina memanfaatkan Facebook Live untuk menampilkan gaya kasarnya, yang justru dilihat sebagian rakyat sebagai kejujuran. Ia membangun citra “pemimpin yang tidak berjarak” meskipun lewat ujaran yang penuh kekerasan.


Indonesia pun tidak luput. Joko Widodo dikenal dengan “blusukan”, masuk ke gang sempit, pasar tradisional, dan kampung-kampung. Aksi ini direkam, diedit, dan disebarkan lewat YouTube serta media sosial. Apa yang awalnya spontan kemudian berubah menjadi strategi branding. Dari Kartu Indonesia hingga pembagian sembako, semua dikemas agar “terlihat sederhana, merakyat, dan dekat”.


Gimik yang Menjadi Kebijakan


Masalahnya, gimik sering kali menggantikan substansi. Trump menjanjikan tembok perbatasan dengan Meksiko. Secara politik, itu sukses besar: ia tampil sebagai pelindung bangsa. Namun secara kebijakan, pembangunan tembok itu penuh masalah dan jauh dari selesai.


Di Indonesia, Ridwan Kamil dengan kreativitas media sosial dan Dedi Mulyadi dengan gaya folkloristik Sunda membuktikan bahwa narasi personal lebih kuat daripada program teknokratis. Politik menjadi ajang penciptaan persona.

Fenomena ini disebut banyak pengamat sebagai “governing by headline”—pemerintah bekerja untuk menciptakan berita utama, bukan reformasi nyata.


Dari Propaganda ke Buzzer


Kalau pada Perang Dunia I propaganda dilakukan lewat poster dan pamflet, kini ada buzzer. Di Indonesia, buzzer mulai masif sejak Pilpres 2014. Mereka bekerja dalam tiga tahap:

  1. Produksi narasi: merangkai pesan positif untuk kandidat atau menyerang lawan.

  2. Distribusi & amplifikasi: menggunakan ribuan akun anonim untuk membuat isu jadi viral.

  3. Pengendalian narasi: menyerang balik pihak yang mengkritik, sehingga opini publik bisa diarahkan.

Pendanaan buzzer tidak hanya berasal dari dana kampanye kandidat, tetapi juga dari sponsor korporasi, bahkan diduga ada yang menggunakan anggaran negara atau BUMN.

Demokrasi yang Jadi Panggung

Konsekuensinya jelas: demokrasi bergeser menjadi industri tontonan. Rakyat direduksi menjadi penonton. Partisipasi politik dikerdilkan menjadi sekadar “like, share, comment”. Pemilu bukan lagi kontestasi gagasan, melainkan kompetisi pencitraan.

Inilah paradoks populisme modern: di satu sisi, ia menjanjikan kedekatan dengan rakyat, tapi di sisi lain, ia menjadikan rakyat sekadar audiens dalam pertunjukan besar bernama politik.


Dari Roosevelt dengan radio hingga Jokowi dengan blusukan di YouTube, sejarah populisme menunjukkan satu pola: medium membentuk politik. Ketika visual, gimik, dan headline lebih penting daripada kebijakan, maka demokrasi perlahan kehilangan makna deliberatifnya. Ia berubah menjadi teater, dengan pemimpin sebagai aktor, buzzer sebagai sutradara, dan rakyat sebagai penonton pasif.

 

Narasi Lengkap di sini