Setiap kali bulan Maulid tiba, umat Islam di berbagai tempat menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ. Ada yang merayakannya dengan pengajian, tahlilan, bahkan pesta rakyat. Namun, selalu muncul perdebatan: benarkah Nabi sendiri pernah memperingati hari lahirnya?
Faktanya, Rasulullah ﷺ tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Bahkan ada yang menyebut peringatan Maulid sebagai bid’ah. Lalu, bagaimana kita memaknainya?
Sebagian ulama menafsirkan kata maulid tidak hanya sekadar “hari lahir”, tetapi juga bisa berarti “tempat lahir”. Jika dimaknai demikian, maka memuliakan Maulid Nabi bisa berarti menghormati Makkah—tanah kelahiran beliau—yang memang disebut Allah sebagai tanah suci. Dari sini, peringatan Maulid lebih tepat dipahami bukan sebagai perayaan ulang tahun, melainkan sebagai momentum mengenang, meneladani, dan menanamkan cinta kepada Rasulullah ﷺ bagi generasi penerus.
Namun, ada pesan yang jauh lebih penting: jangan jadikan Maulid atau perbedaan ibadah sebagai alasan perpecahan. Rasulullah ﷺ diutus bukan untuk memecah belah, melainkan untuk mempersatukan umat. Al-Qur’an pun menegaskan, “Berpeganglah kamu pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103).
Sayangnya, kita sering taat pada sebagian perintah Allah, tapi abai pada perintah untuk bersatu. Kita rela patuh pada kewajiban salat, zakat, bahkan berkorban harta demi berangkat haji. Tetapi, ketika Allah melarang kita bertengkar dan berpecah belah, seolah larangan itu tidak berlaku. Padahal dampaknya justru lebih besar: perang saudara, jutaan korban jiwa, dan kehancuran negeri, seperti yang terjadi di Yaman, Suriah, Irak, hingga Libya.
Sejarah Islam pun memberi pelajaran. Ketika agama dijadikan alat politik dan mazhab dipaksakan oleh penguasa, lahirlah penindasan dan pertumpahan darah. Para ulama besar pun jadi korban. Dari situlah muncul kesadaran: urusan agama biarlah ulama yang mengurus, sementara urusan negara ditangani umara. Inilah akar pemisahan peran yang kemudian dalam sejarah dikenal sebagai cikal bakal sekularisme.
Maka, pelajaran yang bisa kita ambil sederhana: agama tidak pernah mengajarkan paksaan. Nabi Muhammad ﷺ hanya ditugaskan untuk menyampaikan, bukan memaksa. Dalam berdakwah pun, beliau mencontohkan kelembutan, bukan kekerasan.
Jika umat Islam ingin benar-benar meneladani Nabi, maka yang harus dijaga bukan sekadar ritual peringatannya, melainkan semangat persatuan, kasih sayang, dan kebijaksanaan dalam menyampaikan agama.